Etika Dan Politik Minyak Goreng Ala Zulhas Mendag RI Jilid Dua

oleh -167 views

Lampung  Selatan,- Soal bagi-bagi minyak goreng oleh Menteri Perdagangan (Mendag) RI, Zulkifli Hasan Zulhas) ke seribuan tim sukses (Timses) desa bakal calon bupati Lampung Selatan, Egi Radityo Pratama (ERP) di SMA Kebangsaan Kecamatan Penengahan pada Jumat 6 September lalu, dinilai sejumlah elemen masyarakat telah terjadinya konflik kepentingan. Bahkan dengan kewenangannya selaku penyelenggara negara, kegiatan Zulhas tersebut menjurus pada penyalahgunaan wewenang.

Adalah Distrik Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) Lampung Selatan, melalui sekretarisnya Suherman mengungkapkan penilaian adanya masalah etika pejabat negara, ketika seorang Zulhas yang notabene merupakan ayah mertua dari bakal calon bupati ERP ‘bermain’ di minyak goreng untuk mendukung menantunya tersebut dalam kontestasi pilkada.

“Ketika minyak goreng yang akhirnya menjadi pilihan Zulhas dalam mendukung menantunya itu, maka dengan posisinya sebagai menteri perdagangan, publik secara nalar logika menilai ada sesuatu dengan minyak goreng yang memang menjadi kewenangan Zulhas selaku Menteri Perdagangan di bidang usaha minyak sawit,” ujar Suherman, Senin 16 September 2024.

Diungkap Suherman, berdasarkan investigasi langsung ke masyarakat, didapati minyak goreng yang dibagikan oleh Mendag Zulhas tersebut berupa minyak goreng kemasan botol ukuran 500 mili liter tanpa merk dan label apapun. Dimana setiap 1 orang yang hadir dalam acara itu menerima 1 dus yang berisikan 10 botol minyak goreng.

Menurut dia, ada 2 kemungkinan ketika diperhatikan bentuk fisik minyak goreng itu saat diterima oleh para timses tingkat desa yang kerap disebut Kordes.

“Ada 3 jenis minyak goreng yang ada di Indonesia, yang pertama tentunya minyak goreng kemasan premium dengan merk terkenal. Kedua minyak goreng kemasan sederhana dengan merk MinyaKita dan terakhir adalah minyak goreng curah. Yang pasti untuk yang pertama kita kesampingkan,” imbuhnya.

Untuk minyak goreng curah, terus Suherman, merupakan minyak goreng sawit yang dijual kepada konsumen dalam kondisi tidak dikemas dan tidak memiliki label atau merek. Minyak curah ini ialah produk turunan minyak kelapa sawit yang tidak murni. Biasanya minyak goreng jenis ini hanya dijual di pasar tradisional dan tidak dijual di minimarket atau swalayan.

“Minyak goreng curah adalah minyak goreng sawit yang dijual ke konsumen dalam kondisi tidak dikemas dan tidak memiliki label atau merek. Pengertian minyak goreng curah tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 11 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Curah,” ucap Suherman.

Sedangkan untuk minyak goreng kemasan merk MinyaKita, terus Suherman, adalah merk dagang milik Kementerian Perdagangan dan sudah terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM. Sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2024 tentang Minyak Goreng Sawit Kemasan dan Tata Kelola Minyak Goreng Rakyat yang mulai diberlakukan pada 14 Agustus 2024 kemarin, MGR tersebut merupakan kontribusi pelaku usaha eksportir produk turunan kelapa sawit ke pasar dalam negeri melalui skema DMO (domestic market obligation).

“Permendag ini mengatur skema DMO minyak goreng rakyat (MGR) yang dulu berbentuk curah atau kemasan kini diubah menjadi hanya dalam bentuk Minyakita dan ditetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang sebelumnya sebesar Rp14.000/liter kini menjadi Rp15.700/liter,” ungkapnya.

Suherman curiga, minyak goreng kemasan botol plastik yang dibagikan oleh Mendag tersebut adalah MinyaKita. Namun untuk mengaburkan asal-muasal bahan pangan tersebut, maka dipilihlah MinyaKita dengan kemasan botol plastik, karena label dan merk tak melekat pada kemasan. Pada kemasan botol, merk hanya menempel dengan perekat pada ujungnya saja. Berbeda dengan kemasan plastik bantal dan karton (Pouch), merk dan label melekat pada kemasan.

Namun demikian, sambung Suherman, untuk menelusuri asal-muasal minyak goreng tersebut bukanlah suatu masalah berat. Karena menurut Suherman, industri kelapa sawit saat ini telah mengintegrasikan sektor hulu-hilir industri sawit berbasis sistem digital. Hal ini menjadikannya mudah diawasi dan mendorong transparansi penerapan kebijakan kewajiban pemenuhan kebutuhan pasar domestik atau DMO minyak kelapa sawit mentah dan produk turunan serta distribusi minyak goreng curah.

Suherman menjelaskan, secara sistematis, Permendag nomor 18 itu mengatur tata kelola MGR meliputi program MGR, pendistribusian, HET, insentif, ketentuan pendaftaran produsen minyak dan skema DMO.

“Hulu hilir diatur secara sistematis. Dimulai dari produsen minyak goreng mendaftar Program MGR melalui SIINas (Sistem Informasi Industri Nasional) dan menyampaikan estimasi produksi dan penyaluran RBDPL atau produk hasil fraksinasi. Kemudian produsen mendaftarkan D1 (Distributor lini Pertama) dan atau BUMN Pangan dan melampirkan perjanjian kerja sama melalui SIMIRAH (Sistem Informasi Minyak Goreng Curah),” jelasnya.

Dilanjutkan Suherman, produsen minyak goreng menyalurkan MGR kepada distributor lini pertama (D1) atau BUMN Pangan dan distributor lini kedua (D2). Kemudian distributor kembali menyalurkan ke pengecer. Setiap masing-masing pihak, baik yang menyalurkan maupun disalurkan wajib melaporkan pendistribusian melalui SIMIRAH.

“Dan yang terakhir, setelah pengiriman MGR ke pengecer, maka pengecer harus melaporkan melalui SIMIRAH meliputi penerimaan MGR dan penjualan MGR kepada konsumen. Artinya, jika regulasi ini benar-benar berjalan, maka tak ada lagi ruang bagi pihak spekulan atau pihak berkepentingan lainnya untuk membeli atau menguasai minyak goreng DMO. Karena hulu hilir telah diatur secara sistematis,” ungkapnya.

“Maka akan menjadi aneh, jika ada pihak diluar pelaku usaha minyak kelapa sawit yang telah terdaftar di aplikasi SIMIRAH tersebut, namun dapat menguasai ribuan liter minyak goreng. Apalagi penguasaan ribuan liter MinyaKita itu bukan dalam rangka pemenuhan tata kelola minyak goreng rakyat ataupun operasi pasar murah, tapi untuk kepentingan pencalonan pilkada,” tukas Suherman.

Kendati begitu, Suherman menyangsikan jika minyak goreng yang dibagikan tersebut merupakan minyak goreng curah. Dimana minyak goreng curah, dalam kapasitas seorang Menteri Perdagangan adalah minyak goreng ilegal, karena tanpa ada merk dan label hingga izin edar sesuai dengan regulasi yang mengatur terkait bahan pangan.

“Kalau itu minyak goreng curah, masa iya seorang Zulhas mau bagi-bagi minyak goreng yang dinilai kurang higienis. Apalagi dalam aturannya minyak goreng curah dari produsen sampai pasar tidak boleh dikemas, sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 49 Tahun 2022 tentang Tata Kelola Program Minyak Goreng Rakyat. Yang diitemukan ini sudah melanggar aturan karena dikemas dan tidak menyertakan merek,” tuturnya seraya mengatakan bahwa penjualan minyak goreng curah semestinya dikemas dengan plastik di depan konsumen. Minyak goreng curah tidak boleh dikemas tanpa merek dan izin edar.

Atas itu semua, Suherman berencana melaporkan Mendag Zulhas ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Terlepas adanya kepentingan politik pada pilkada, Suherman menyatakan dengan terungkapnya masalah bagi-bagi minyak goreng ini dapat mengungkap tabir masalah yang lebih besar.

“Mau urusan pilkada, mau urusan politik terserah. Tapi disini saya bicara atas kepentingan masyarakat Indonesia atas kebutuhan akan minyak goreng yang patut diduga terjadinya penyimpangan. Pasti, dalam waktu dekat kami bakal ke gedung Merah Putih melaporkan indikasi ini ke lembaga antirasuah,” pungkasnya.

(or/ow)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *