LAMPUNG SELATAN,- Ketua PD Ikatan Wartawan Online (IWO) Kabupaten Lampung Selatan, Yudi Pratama sebut pejabat yang kerap blokir WhatsApp wartawan tak pantas menduduki jabatan di birokrasi pemerintahan. Selain menciderai harmonisasi hubungan partnership antar lembaga, loss kontak juga tidak membuat keadaan akan menjadi lebih baik, yang terjadi malah sebaliknya. Berpotensi konflik berkepanjangan.
“Terlebih pejabat di pemerintahan yang mengepalai sebuah satuan kerja, dimana seorang pejabat tidak saja dituntut harus dapat bekerja dengan baik, namun juga diwajibkan bisa tidak bisa, harus bisa memiliki etika dan integritas sebagai seorang pemimpin yang dapat memberikan contoh tauladan. Apalagi utamanya tupoksi seorang ASN itu adalah pelayanan,” kata Yudi melalui rilis tertulisnya, Senin 17 Februari 2025.
Namun demikian, Yudi pun tak menampik, kerap keputusan ‘Ghosting’ oleh sang pejabat tersebut diambil karena alasan adanya ketidaknyamanan yang dialami, seperti cara berkomunikasi, penyampaian yang kurang pas, baik itu etika, kesopanan, tata cara maupun timing yang kurang tepat.
Dijelaskan oleh Pimred Media Promoter ini, bahwa Wartawan Indonesia dalam menjalankan tugas jurnalistiknya sehari-hari senantiasa diwajibkan berpegang teguh kepada 11 pasal Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Untuk case tersebut, terus Yudi, ada pada pasal 2 KEJ. Yakni, ‘Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik’
“Artinya wartawan dalam bekerja diwajibkan profesional, seperti harus sopan, selalu menunjukkan identitas diri kepada narasumber, menghormati hak privasi dan selalu menempuh cara-cara yang baik dan benar dalam memperoleh data, informasi dan keterangan dari narasumber,” imbuhnya.
Alhasil, sambung Yudi, blokir akun WhatsApp wartawan bukan lah solusi cerdas yang sesuai dengan konstitusi. Akan tetapi, jika ada narasumber yang kurang berkenan, baik itu dengan etika, sikap, cara komunikasi yang tidak sopan ataupun cara penyampaian dari oknum wartawan tersebut dirasa sudah melewati batas-batas norma, maka siapa pun narasumber itu dengan bentangan ‘karpet merah’ dipersilahkan untuk komplen atau mengajukan keberatan ke organisasi profesi tempat sang wartawan bernaung.
“Wartawan itu bukan pekerjaan, tapi adalah sebuah profesi. Yang artinya memiliki aturan keprofesian. Yang bisa disebut wartawan itu rumusnya 2 wajib 3 terbaik. Maksudnya yang disebut 2 wajib wartawan, adalah wajib bekerja di sebuah perusahaan media dan wajib bergabung di organisasi profesi dan 3 terbaik yaitu wartawan yang telah mengikuti uji kompetensi,” jelasnya seraya mengatakan bahwa seseorang tidak bisa disebut wartawan jika belum melaksanakan 2 wajib tersebut tadi.
Dikatakan Yudi, ada 3 fungsi utama organisasi profesi wartawan yang publik perlu ketahui, yang pertama yakni pembinaan, pengawasan serta perlindungan. Tujuan organisasi yang pertama, yaitu wajib memberikan pembinaan kepada anggotanya selayaknya seseorang berprofesi sebagai wartawan sesuai dengan UU Pers dan regulasi terkait lainnya.
Kemudian yang kedua adalah melakukan pengawasan. Tentunya, setelah dilakukan pembinaan maka akan diiringi dengan pengawasan, termasuk memberikan ruang seluas-luasnya kepada masyarakat ataupun dinas instansi yang merasa dirugikan untuk melaporkan oknum.
Dan yang terakhir adalah memberikan perlindungan kepada oknum yang berprofesi sebagai wartawan pada saat menjalankan tugas jurnalistiknya sebagai jurnalis. Yudi berujar, organisasi profesi wartawan yang diakui oleh dewan Pers yaitu organisasi yang memiliki kepengurusan dari pusat sampai daerah, punya AD/ART organisasi dan memiliki agenda pemilihan raya tetap kepengurusan secara berkala.
Untuk itu, menurut Yudi, hubungan pemerintah (Eksekutif) baik pusat maupun di daerah bersama dengan Legislatif (DPRD) dan Yudikatif (TNI, Polri, Kejaksaan dan Kehakiman) bersama pers sejatinya diposisikan bersinergi, saling mengisi dan saling membutuhkan. Pers menciptakan isu-isu harmoni dan dinamis dalam setiap kepentingan lembaga dalam sebuah bingkai tata negara demokrasi.
“Pers merupakan pilar ke empat demokrasi, setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif yang artinya demokrasi belum berjalan jika tanpa ada pers untuk mengiringi 3 pilar lainnya. Satu sisi, pemerintah baik itu eksekutif, legislatif dan yudikatif butuh saluran komunikasi antar pilar yang bersifat publik dan juga dinamis tanpa melalui proses birokrasi yang kaku dan bertele-tele, namun bertanggung jawab,” pungkas Yudi.
(*)